Rabu, 13 November 2013

makalah peningkatan mutu pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Sudah merupakan pendapat umum bahwa kemakmuran  suatu bangsa berkaitan erat dengan kualitas atau mutu pendidikan bangsa yang bersangkutan. Bahakan lebih spesifik lagi, bangsa-bangsa yang berhasil mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dewasa ini adalah bangsa-bangsa yang melaksanakan pembangunan berdasarkan strategi pengembangan sumber daya insane. Artinya, melaksanakan pembangunan nasional dengan menekankan pada pembangunan pendidikan guna pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia, dari aspek pendidikan berarti mengembangkan pendidikan baik aspek kuantitas maupun kualitas. Aspek kuantitas menekankan pada perluasan sekolah sehingga penduduk memilki akses untuk bisa mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Dari aspek kualitas , pengembangan sumber daya manusia berarti pendidikan dalam hal ini kualitas sekolah harus selalu ditingkatkan dari waktu ke waktu. Kualitas sekolah memiliki tekanan bahwa lulusan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki kemampuan yang relevan dan diperlukan dalam kehidupannya.
Peningkatan mutu pendidikan melalui standarisasi dan profesionalisasi yang sedang dilakukan dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen sistem pendidikan.   Perubahan kebijakan pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah menekankn bahwa pengambilan kebijakan berpindah dari pemerintah pusat (top  government) ke pemerintahan daerah (district government), yang berpusat  di pemerintahan kota dan Kabupaten. Dengan demikian, kewenangan-kewenangan penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah berada di pundak Pemerintah Kota dan Kabupaten, sehingga implementasinya akan diwarnai oleh political will pemerintah daerah, yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda). Dalam hal ini, tentu saja yang paling menentukan adaah Bupati/Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Kepala Dinas Pendidikan beserta jajarannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu/kualitas pendidikan di daerahnya, meskipun tidak selamanya demikian, karena dalam pelaksanaannya tidak sedikit penyimpangan dan salah penafsiran terhadap kebijakan yang digulirkan, sehingga menimbulkan berbagai kerancuan bahkan penurunan kualitas.
Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, keberhasilan dan kegagalan pendidikan di sekolah sangat bergantung pada guru, kepala sekolah dan pengawas, karena ketiga figur tersebut merupakan kunci yang menetukan serta menggerakan berbagai komponen dan dimensi sekolah yang lain (Mulyasa, 2012). Dalam posisi tersebut baik buruknya komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh kualitas guru, kepala sekolah, dan pengawas, tanpa mengurangi arti penting tenaga pendidikan yang lain. Implementasi desentralisasi pendidikan menuntut kepala sekolah dan pengawas untuk mengembangkan sekolah yang efektif dan produktif, dengan penuh kemandirian dan akuntabilitas.
Pendidikan bangsa Indonesia sekarang ini sangat memprihatinkan banyak kasus-kasus yang terjadi di setiap penjuru negeri. Masalah pendidikan yang ada di Indonesia semakin hari semakin rumit, bertambah banyak dan komplek. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, meskipun mungkin telah banyak  upaya dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, tetapi sebagian  lainnya masih memprihatinkan.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa hakekat dari mutu pendidikan?
2.    Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab rendahnya  mutu pendidikan di sekolah?
3.    Bagaimanakah Model dan strategi peningkatan mutu pendidikan di sekolah?
4.    Apa yang menjadi Tantangan upaya Peningkatan Mutu pendidikan di sekolah?






BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hakekat Mutu Pendidikan

Secara umum, mutu dapat diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang dan jasa yang menunjukkan kemamapuannya dalam memuasakan kebutuhan yang diharapakan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001).
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumber daya meliputi sumber daya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan dan siswa) dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan dan sebagainya). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana dan program. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karean itu rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkt kesiapan input. Makin tinggi  tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses tersebut disebut input, sedang sesuatu hasil dari proses disebut output. Dalam pendidikan berskala mikro (sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memilki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses-proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dan sebagainya) dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahawa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang idajarkan oleh gurunya, tetapi pengetahuan tesebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan yang lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar cara belajar (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas atau bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, nilai ujian akhir, karya ilmiah, lomba-lomba akademik; dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keterampilan dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaaan, pelaksanan, dan pengawasan.
Hasil pendidik dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus dari suatu jenjang pendidikan tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai peserta didik. Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang diperolah siswa selama mengikuti program ekstrakurikuler.

B.  Faktor Penyebab Rendahnya  Mutu Pendidikan di sekolah

            Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada hakekatnya adalah akumulasi dari penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.. Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1.    Rendahnya kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.


2.    Rendahnya kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.    Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.    Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.


5.    Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
6.    Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

C.  Model dan Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah

1.    Teori dan model peningkatan mutu pendidikan
Teori merupakan serangkaian konsep, variabel dan proposisi yang memiliki keterkaitan kausalitas sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh yang dapat menjelaskan suatu fenomena. Model merupakan terminologi yang seringkali dipergunakan untuk menunjuk teori.
a.    Teori Total Quality Management (TQM)
            Teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah mencakup dan menekankan pada tiga kemampuan, yaitu kemampuan akademik, kemampuan sosial, dan kemampuan moral. Menurut teori ini, mutu sekolah ditentukan oleh tiga variabel, yakni kultur sekolah, proses belajar mengajar dan realitas sekolah. Kultur sekolah merupakan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan, dan berbagai perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya baik secara sadar maupun tidak. Kultur ini diyajini mempengaruhi perilaku komponen sekolah, yaitu guru, kepala sekolah, staf administrasi, siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu akan mendorong perilaku warga sekolah kea rah peningkatan mutu sekolah, sebaliknya kultur sekolah yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju peningkatan mutu sekolah.
            Kultur sekolah dipengaruhi dua variabel, yakni variabel pengaruh eksternal dan realitas sekolah itu sendiri. Pengaruh eksternal dapat berupa kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah, perkembangan media massa dan lain sebagainya. Realitas adalah keadaan dan kondisi factual yang ada di sekolah, baik kondisi fisik seperti gedung dan fasilitasnya, maupun non fisik seperti; hubungan antar guru yang tidak harmonis dan peraturan sekolah yang kelewat kaku. Realitas sekolah mempengaruhi mutu sekolah. Sekolah yang memilki peraturan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga sekolah akan memiliki dampak ats mutu yang berbeda dengan sekolah yang memliki peraturan tetapi tidak diterima warga sekolah.
            Kualitas kurikulum dan proses belajar mengajar merupakan variabel ketiga yang mempengaruhi mutu sekolah. Variabel ini merupakan variabel yang paling dekat dan paling menentukan mutu lulusan. Kualitas kurikulum dan PBM memilki hubungan timbal balik dengan realitas sekolah. Di samping itu juga dipengaruhi oleh factor internal sekolah. Faktor internal adalah aspek kelembagaan dari sekolah seperti struktur organisasi, bagaimana pemilihan kepala sekolah, pengangkatan guru. Faktor internal ini akan mempengaruhi pandangan dan pengalaman sekolah. Selain itu, pandangan dan pengalaman sekolah juga akan di pengaruhi oleh factor eksternal.







 


                                                                              





Gambar 1.1. Peningkatan Mutu Sekolah Model TQM
b.    Teori Organizing Business for Excelency
Teori ini dikembangkan oleh Andrew Tani (2004), yang menekankan pada keberadaan sistemorganisasi yang mampu merumuskan dengan jelas visi, misi dan strategi untuk mencapai tujuan yang optimal. Teori ini menjelaskan bahwa peningkatan mutu sekolah berawal dari dan dimulai dari dirumuskannya visi sekolah. Dalam rumusan visi ini terkandung mutu sekolah yang diharapakan di masa mendatang. Visi sebagai gambaran masa depan dapat dijabarkan dalam wujud yang lebih konkrit dalam bentik misi. Yakni suatu statatement yang menyatakan apa yang akan dilakukan untuk bias mewujudkan gamabaran masa depan menjadi realitas. Konsep misi mengandung dua aspek, yaitu aspek abstrak dan konrit. Misi mengandung aspek abstrak dalam bentuk perlunya kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak tampak. Kepemimpinan yang hidup di sekolah akan melahirkan kultur sekolah. Bagaimana bentuk dan sifat kultur sekolah sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan di sekolah. Jadi kepemimpinan dan kultur sekolah merupakan sisi abstrak dari konsep misi. Gambar dari teori ekselensi dpat dilihat di bawah ini.







VISI





 




           

Gambar 1.2. Teori Ekselensi Organisasi untuk Peningkatan Mutu Sekolah
Di satu sisi, misi juga mengandung sesuatu yang bersifat konkrit yaitu strategi dan program, yang dapat dirumuskan dalam rancangan tertulis. Strategi dan program dapat diketahui secara umum, biasanya berkaitan erat dengan infrastruktur sekolah, seperti keberadaan wakasek, wali kelas, komite, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya yang dibutuhkan. Program belajar mengajar yang merupakan basis dari mutu sekolah sangat ditentukan oleh dua variabel di atas yakni kultur sekolah dan infrastrutur yang ada. Kualitas interaksi antara guru dan sisw sebagai wujud proses belajar mengajar disatu sisi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana sebagai salah satu wujud infrastruktur sekolah. Dan disisi lain, kualitas interaksi tersebut sangat ditentukan oleh kultur sekolah. Keduanya memberikan dampak atas proses belajar mengajar secara simultan, berkesinambungan, tidak bisa direduksi, dan tidak bias dipilah-pilah.

c.    Model Peningkatan Mutu Faktor Empat


 

                                                                                           






Gambar 1.3. Model Peningkatan Mutu Sekolah Faktor empat
Teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah merupakan hail dari pengaruh langsung proses belajar mengajar. Seberapa tinggi kualitas proses belajar akan menunjukkan seberapa tinggi kualitas sekolah. Kualitas sekolah berawal dari adanya visi sekolah, yang kemudian dijabarkan dalam misi sekolah. Sebagaimana dijelaskan dalam teori ekselansi organisasi, maka misi mengandung dua aspek, yaitu aspek abstrak dan konkrit. Misi mengandung nilai-nilai seperti menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras, kebersamaan. Pada tahap berikutnya nilai-nilai itu akan berpengaruh pada terhadap kultur sekolah. Karena memiliki nilai-nilai kejujuran maka interkasi antar warga sekolah didasari pada saling percaya mempercayai, sehingga suasana sekolah enak, harmonis dan nyaman. Karena memiliki nilai kerja keras, maka kultur sekolah menunjukkan adanya kebiasaan untuk tidak menunda-nunda pekerjan. Disisi lain juga, misi juga mengandung aspek konkrit, yakni berupa strategi dan program, yang menuntut keberadaan infrastruktur. Berbeda dengan teori ekselensi organisasi, pada teori ini baik aspek abstrak maupun konkrit dari misi berpengruh langsing terhadap kepemimpinan. Dalam kaitan ini kepemimpinan memiliki dua aspek, yaitu kepemimpinan dengan kemampuan untuk menggerakkan, menanamkan dan mempengaruhi aspek abstrak, dan juga aspek manajerial yang merupakan kemampuan konrit dalam mengorganisir, mengeksekusi, memonitor dan mengontrol. Dua variabel kepemimpinan dan manajerial inilah  yang akan menentukan kualitas PBM  bersama-sama dengan keberadaan kultur sekolah dan infrastruktur yang dimilki sekolah. Jadi, pada “Model Empat” ini kualitas proses belajar mengajar ditentukan oleh kultur sekolah, kepemimpinan, manajerial dan infrastruktur yang ada.
d.   Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS di pandang sebgai alternatif  dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengna mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan dari pusat dan daerah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan system manajemen dimana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar kepada kepala sekolah, guru, murid dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pegambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian dan kurikulum ditempatkan ditingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah apalagi pusat. Melaui keterlibatan guru, orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasrnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang di tingkaat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid  dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat dan daeraah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta dalam merencanakannya.
Berdasarkan MBS maka tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, sekolah mempunyai otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber daya sekolahguna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efektif demi pekembangan jangka panjang sekolah. Model MBS yang diterapkan di Indonesia adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasai Sekolah (MPMBS). Konsep dasar MPMBS adalah adanya otonomi dan pengambilan keputusan partispatif. Artinya MPMBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada masing-masing sekolah secara individual dalam menjalankan program seklahnya dan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Sebagai suatu sistem, MPMBS memiliki komponen-komponen yang saling terkait secara sistematis satu sama lain, yaitu contxt, input, process, output, dan outcome (Depdiknas,2003: 52). Muara dari semua kegiatan sekolah adalah mutu hasil belajar siswa. Kemajuan suatu sekolah akan dilihat dari sejauh mana kualitas hasil belajar siswanya. Oleh karena itu, indikator keberhasilan pelaksanaan MPMBS di sekolah adalah kualitas kinerja siswa atau kualitas hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dapat bersifat akademik maupun non-akademik. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menunjukkan sejauh mana kinerja siswa ini meningkat (secara kuntitatif dan kualitatif) setelah program MPBMS dilakukan. Dalam mengukur keberhasilan kinerja siswa ini, sekolah hendaknya memiliki indikator-indikator yang jelas, diketahui oleh semua pihak, dan dapat diukur dengan mudah. Selain terdapat keluaran (output), sekolah juga harus memiliki kriteria keberhasilan yang jelas terhadap dampak (outcome) program-program sekolah terhadap sekolah sendiri, lulusannya, dan masyarakat.
Setelah berlangsung sejak 1999, kiranya efektivitas implementasi MPMBS di sekolah rintisan sudah layak untuk dievaluasi. Evaluasi efektivitas MPMBS perlu dilakukan terhadap komponen-komponen context, input, proses, output, dan outcome. Evaluasi ini akan menunjukan tingkat efektivitas dari masing-masing komponen serta aspek-aspek dari komponen itu. Berkaitan dengan inilah, penelitian evaluatif efektivitas MPMBS di sekolah perlu dilakukan.








Tabel 1. Komponen MPMBS

Komponen MPMBS.
Indikator
Komponen Kontect
1.    Kebijakan dalam bidang pendidikan
2.    Kondisi geografis dan sosial ekonomi masyarakat
3.    Tantangan masa depan bagi lulusan
4.    Aspirasi pendidikan masyarakat sekitar sekolah
5.    Daya dukung masyarakat terhadap program pendidikan
Komponen Input
1.    Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu.
2.    Sumber daya manusia
3.    Sumber daya lain(dana, peralatan, perlengkapan, bahan)
4.    Harapan prestasi tinggi
5.    Fokus pada pelanggan
6.    Manajemen yang terdiri dari tugas, rencana, program, regenerasi.
Komponen Process
1.    Proses belajar mengajar yang efektif
2.    Kepemimpinan sekolah yang kuat
3.    Penciptaan lingkungan sekolah yang aman dan tertib
4.    Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif
5.    Budaya mutu
6.    Kerjasama tim
7.    Partisipasi warga sekolah dan masyarakat
8.    Keterbukaan
9.    Kemauan untuk berubah (inovasi)
10.  Evaluasi dan perbaikan
11.  Responsiv terhadap kebutuhan
12.  Komunikasi yang baik
13.  Akuntabilitas
14.  Sustainabilitas
Komponen Produc:
Output


Outcome.
1)  Hasil belajar yang bersifat akademik
2)  Imam dan taqwa
3)  Masalah dan hambatan yang dihadapi siswa
4)  Siswa yang diterima di PT
5)  Popularitas Sekolah
6)  Gaji/pengasilan Guru
7)  Masa tunggu mencarai pekerjaan
8)  Kesesuaian dengan pasar kerja

1)   Tujuan MBS
Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan/otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk:

a)    Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yan tersedia.
b)   Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c)    Meningkatkan tanggung jawab kepala sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d)   Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
2)   Prinsip dan implementasi  MBS

a)    Fokus pada mutu
b)   Bottom up planning dan decision making
c)    Mnajemen yang transparan
d)   Pemberdayaan masyarakat
e)    Peningkatan mutu yang berkelanjutan


D.  Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah

 Strategi merupakan penentuan suatu tujuan jangka panjang dari suatu lembag dan aktivitas yang harus dilakukan guna mewujudkan tujuan tersebut, disertai alokasi sumber yang ada sehingga tujuan dapat diwujudkan secara efektif dan efesien. Penentuan tujuan dan aktivitas yang dilakukan bermula dari kondisi saat ini yang ada dan kondisi yang akan dicapai masa depan sebagai tujuan.  Terdapat tiga perencanaan strategis yang berkaitan dengan peningkatan mutu sekolah, yaitu strategi yang menekankan pada hasil (the output oriented strategy), strategi yang menekankan pada proses (the process oriented strategy), dan strategi komprehensif (the comprehensive strategy).
            Strategi yang menekankan pada hasil bersifat top down, di mana hasil yang akan dicapai baik kuantitas maupun kualitas telah ditentukan dari atas, bias dari pemeritah pusat, pemerintah daerah propinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Kasus di Indonesia saat ini, hasil yang herus dicapai telah dirumuskan dalam Standar Kopetensi Lulusan dan Standar Kompetensi Dasar. untuk mencapai standar yang telah ditetapkan pemerintah juga akan menetapkan berbagai standar yang lain , seperti standar proses, standar pengelolaan, standar fasilitas, dan standar tenaga pendidik.
            Strategi yang menekankan pada hasil ini akan sangat efektif karena sasarannya jelas dan umum, sehingga apabila diikuti dengan pedoman, pengendalian dan pengorganisasian yang baik serta kebijakan yang memberikan dorongan sekaligus ancaman bagi yang menyimpang, strategi ini akan akan sangat efesien. Namun, dibalik kebaikan tersebut strategi ini juaga mengandung sisi kelemahan yakni akan terjadi kesenjangan yang semakin besar antara sekolah yang maju dan sekolah yang terbelakang. Sekolah yang sudah siap untuk mencapai hasil yang ditentukan akan dengan mudah mencapainya, sebaliknya sekolah yang tidak siap sulit untuk mencapai hasil yang ditentukan dan akan muncul upaya-upaya yang tidak sehat atau muncul keputus-asaan.
Untuk Strategi yang menekankan pada prosesi muncul, tumbuh berkembang dan digerakkan mulai dari bawah, yakni sekolah sendiri. Pelaksanaan strategi ini sangat ditentukan oleh inisiatif dan kemampuan dari sekolah. Karena sekolah memilki peran yang sangat menentukan dan sekaligus pengambil inisiatif, maka akan muncul semangat dan kekuatan dari sekolah sesuai kondisi dari masing-masing sekolah. Gerakan untuk memperkuat diri dengan bekerjasama diantara sekolah akan lahir yang akan diikuti dengan munculnya berbagai inovasi dan kreasi dari bawah. Namun, strategi ini memiliki kelemahan yaitu arah dan kualitas sekolah tidak seragam, sehingga sulit untuk melihat dan meningkatkan kualitas secara nasional.
            Layaknya, kalau ada dua pendapat yang bertolak belakang akan muncul pendapat ke tiga yang merupakan perpaduan diantaranya. Demikian pula dalam kaitan dengan strategi, muncul strategi peningkatan mutu sekolah yang ketiga yang merupakan kombinasi dari dua strategi yang sudah ada. Strategi ini disebit strategi yang komprehensif (the comprehensive strategy).
            Strategi ini menggariskan bahwa hasil yang akan dicapai sekolah ditentukan secara nasional, yang diwujudkan dalam dalam standar nasional. Untuk mencapainya maka berbagai standar yang berkaitan dengan hasil juga ditentukan sebagai jaminan hasil akan dicapai. Maka lahir lah pula standar proses, standar pengelolaansekolah, standar guru, kepala sekolah dan pengawas, standar keuangan, standar isi kurikulum, serta standar sarana prasarana. Di balik standar yang telah ditentukan dari atas tersebut, sekolah memiliki kekuasaan dan otoritas yang besar untuk mengelola sekolah dalam rangka mencapai standar hasil di atas. Berdasarkan strategi ini diperkiarakan akan muncul berbagai inovasi kegiatan dari sekolah. Bahkan, tidak mustahi akan muncul kenekaragaman dalam pengelolaan sekolah. Dengan demikian kondisi dan kebutuhan lokal terakomodasi dengan strategi komprehensif. Tujuannya bersifat nasional tetapi cara mencapainya sesuai dengan kondisi lokal.
            Strategi peningktan mutu sekolah yang ada di Indonesia cenderung pada strategi yang ketiga ini, sebagimana dapat ditunjukkan dengan adanya berbagai standar nasional yang menjadi acuan sekolah, namun sekolah diberi kebebasan dalam bentuk kebijakan manajemen berbasis sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi dengan kewenangan sekolah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Setiap strategi mengandung kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Kegiatan ini pada intinya adalah menggerakkan semua komponen sekolah yang bermuara pada peningkatan kualitas lulusan. Strategi untuk meningkatkan mutu mencakup membangun kapasitas level birokrat, sekolah dan kelas.
1.    Membangun kapasitas level birokrat         
            Membangun kapasitas  (capacity building) adalah sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan kesempatan bagi siapa saja untuk mengambil manfaat dari bekerjasama dalam suatu sistem kerja  yang baru (Harris & Lambert, 2003). Konsep ini menekankan pada kerja sama sebagai prinsip dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Capacity building yang diperlukan mencakup tiga hal; a) pengembangn nilai-nilai atau budaya kerja yang menjadi jiwa pelaksanaan kegiatan, b) infrastruktur yang mejnadi landasan untuk melaksanakan kerja, dan c) pengembangn tenaga pendidik, khususnya guru, sebagai inti pelaksana kegiatan yang harus dilaksanakan.
            Membangun kapasitas level birokrat berarti mengembangkan suasana kerja di kalangan staf dan pegawai kantor pendidikan di segala jenjang, yang menenkankan pada penciptaan kondisi kerja yang didasarkan pada saling percaya mempercayai untuk dapat melayani sekolah sebaik mungkin, agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar (PBM) dan meningkatkan mutunya masing-masing sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. Variable yang diperluakan dalam pengembangan kapasitas birokrat kantoran antara lain visi, skills, incentive, sumber daya, dan program.
            Di bidang infrastruktur, pembangunan kapasitas pada level birokrat kantoran, keberadaan operation room mutlak diperlukan. Pada operation room aling tidak memiliki peta sekolah dan kualitasnya, peta guru, jumlah, penyebaran, kesesuaian, dan kualifikasi pendidikannya dan data yang senantiasa dimutakhirkan dari tahun ke tahun.  Disamping itu diperlukan juga suatu system, mekanisme dan  dan prosedur pelatihan, pemilihan , pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah dan pengawas. Berdasarkan data dan fakta yang ada pada operation room bias dikembangkan berbagai scenario peningkatan mutu sekolah, mutu kepala sekolah, mutu guru, di suatu daerah atau wilayah. Di samping itu, dalam pembangunan kapasitas sekolah pada level birokrat kantoran perlu  dikaji dan ditentukan scenario bagaimana pemberdayaan guru, pengembangan dan peningkatan kemampuan guru secara berkesinambungan dilaksanakan. Dalam peningkatan mutu guru harus ditekankan pada pemberdayaan dan pendinamisian KKG, MGMP, dan MKKS. Dinamisasi ini ditujukan ubtuk dua hal, yaitu; a0 meningkatkan interaksi akademik antara guru dan kepala sekolah, b) untuk mengembangkan kemampuan di kalangan guru melalui refleksi secara sistematis atas apa yang dilakukan dalam proses belajar mengajar.
            Dalam aspek pengembangan tenaga pendidikan ini pula birokrat kantoran harus mempersiapkan rancangan pengadaan gueu, baik karena lingkaran proses pensiun sudah mulai muncul maupun perluasan pelayanan pendidikan yang semakin lebar, sehingga penambahan lembaga pendidikan baru tidak dapat ditunda lagi. Peningkatan kemapuan profesioanalitas guru yang harus dimiliki oleh guru ada emapat sasaran, yaitu; 1) kemampuan melaksanakan PBM secara individual, 2) kemampuan melaksanakan PBM dan mengembangkan kurikulum secara berkelompok, 3) kemampuan mengorganisir, memimpin, menjalin, hubungan, dan memecahkan masalah secara individual dan, 4) kemampuan untuk bekerjasama memajukan sekolah                    
2.    Membangun kapasitas level sekolah
Membangun kapasitas berarti membangun kerjasama, membangun trust, dan membangun  kelompok atau masyarakat sehingga memiliki persepsi yang sama kemana akan menuju dan dapat bekerjasama untuk mewujudkan tujuan itu. Membangun kapasitas  diarahkan pada sekolah sebgai suatu system dan jug alevel kelas sebagai inti dari sekolah. Secara teoritis dalam membangun kapasaitas sekolah ada beberapa konsep yang diidentifikasi oleh Hopkins & Jackson (2002), yaitu; pertama, dalam membangun kapasitas sekolah individu memegag peranan penting. Individu dalam hal ini bias kepala sekolah, guru ataupun siswa. Kedua, hubungan dan kaitan kerja diantara individu-individu yang dirangkum dalam suatu aturan sehingga mereka dapat bekerja sebagai suatu tim yang solid. Ketiga , terdapat suatu system dan meanisme yang mendorong dan memfasilitasi terjadinya kesatuan kerja dan jaringan kerja internl yang akan meningkatkan kemampuan individu dan kauitas kerjasama. Keempat, keberadaan pemimpin yang mampu mengembangkan nilai-nilai, kultur, trust, keutuhan social, dan kebersamaan yang tulus. Jadi membangun kapaistas mencakup membangun diri idividu, kelompok dan organisasi di satu sisi dan membangun kepemimpinan di sisi lain. Membangun kapasitas level sekolah mencakup; mengembangkan visi dan misi, mengembangkan kepemimpinan dan manajemen sekolah, mengembangkan kultur sekolah, mengembangkan a learning school, dan melibatkan orang tua, alumni dna masyarakat serta memahami tantangan yang dihadapi kepala sekolah.
3.    Membangun kapasitas level kelas
Inti dari mutu pendidikan terletak pada apa yang terjadi diruang kelas. Meningkatkan mutu sekolah pada intinya berujung pada peningkatan mutu belajar mengajar di ruang kelas. Oleh karenanya, membangun kapasitas sekolah harus membangun kapasitas kelas. Kapasitas kelas merupakan proses yang memungkinkan interaksi akademik antara guru dan siswa, dan antara komponen di sekolah yang berlangsung secara positif. Interaksi anatar guru dan siswa merupakan inti dari kegiatan  di sekolah.
Interaksi m emiliki dua macam sifat, yakni: sifat positif dan negatif. Interaksi yang positif akan melahirkan energy yang positif yang akan mendukung peningkatan mutu. Sebaliknya interaksi begative akan menghasilkan dampak negatif bagi upaya penigkatan mutu. Dengan demikian, kepala sekolah harus melakukan rekayasa agar di kelas muncul interaksi guru dan siswa  yang bersifat positif.
Beberapa hal ihwal yang berkaitan erata dengan pembangunan kapaistas level kelas antara lain; a) memahami hakekat proses belajar mengajar, b) memahami karakteristik kerja guru, c) mengembangkan kepemimpinan pembelajaran, d) meningkatkan kemampuan mengelola kelas, e) tantangan guru.

E.  Tantangan Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah

Di bawah ini akan diuraikan beberapa tantangan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah  secara umum, yaitu:
1.    Efektifitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
2.     Efisiensi pengajaran di sekolah yang masih bermasalah
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar, sistem pendidikan dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3.     Standardisasi pendidikan di Indonesia
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Peserta didik terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4.    Perubahan Sikap dan perilaku birokrasi pendidikan dari sikap sebagai birokrat menjadi sikap dan perilaku sebagai pelayan pendidikan yang masih sulit dilaksanakan.
5.    Alokasi anggaran yang langsung berkaitan dengan proses belajar mengajar masih terbatas
6.    Tidak meratanya tenaga guru di sekolah-sekoalh akibat distribusi tenaga guru di Indonesia yang timpang
7.    Penerapan pola manajemen berbasis sekolah bertentnagan  kebijakan pendidikan gratis yang disalahgunakan oleh kepentingan politik tetrtentu di daereh, sehingga masyarakat salah memahami prinsip kebijakan pendidikan gratis itu sendiri.
8.    Adanya kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan.












BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

1.      Masalah pendidikan yang ada di Indonesia semakin hari semakin rumit, bertambah banyak dan komplek. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, tetapi sebagian  lainnya masih memprihatinkan.
2.      Rendahnya mutu pendidikan di sekolah  desebabkan oleh berbagai factor antara lain:
a.    Rendahnya sarana fisik sekolah
b.    Rendahnya kualitas guru
c.    Rendahnya kesejahteraan  guru
d.   Kurangnya kesempatan pemerataan pendidikan
e.    Redahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
f.     Mahalnya biaya pendidikan
3.      Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dapat ditempuh  berbagai model manajemn dan strategi  peningkatan mutu antara lain:
a.    Teori Total Quality Management
b.    Teori Organizing Business For Excelency
c.    Model Peningkatan Mutu Faktor Empat
d.   Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah
4.      Strategi peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat dilakukan dengan cara: yaitu strategi yang menekankan pada hasil (the output oriented strategy), strategi yang menekankan pada proses (the process oriented strategy), dan strategi komprehensif (the comprehensive strategy).
5.      Adapun yang menjadi tantangan dalam  upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah  sangat banyak tetapi pada intinya  adalah sumber daya pelaku pendidikan di sekolah yang belum memadai,  political will dari pemegang  kebijakan dan kebijakan pendidkikan itu sendiri.

B.  Saran

1.      Disarankan kepada pihak pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar dapat mengubah pola fikir mereka dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, khusunya dalam hal komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
2.      Disarankan juga dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, agar mutu guru yang paling diutamakan. Sehubungan  dengan hal ini maka disarankan kepada pemerintah agar senantiasa memberikan fasilits untuk peningkatan mutu guru yang sudah ada dan melakukan seleksi ketat terhadap pengangkatan guru baru.
3.      Disarankan kepada kepala sekolah sebagai pemegang kunci manajemen di sekolah agar senantiasa menekankan pentingnya penigkatan mutu pendidikan dalam proses perencanaan pengembangan sekolah.



DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1. Koonsep Dasar. Jakarta: Depdiknas.
Mulyasa, E. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, strategi, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2012. Manajemen & Kepemimpinan Kepala Sekolahi. Jakarta: Bumi Aksara.
Nanang, F. 2000. Manajemen Berbasis Sekolah; Pemberdayaan sekolah dalam rangka Peningkatan Mutu dan Kemandirian Sekolah. Bandung: CV Andira.
Rivai, V & Murni, S. 2010. Education Management: Analisis Teori dan Praktik. Jakarta: Rajawali Pers
Sudarwan, Danim. 2008. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.
Syaifuddin, M, dkk. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Syaodih, N, dkk. 2007. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen). Bandung: Refika Aditama.
Zamroni. 2007. Meningkatkan Mutu Sekolah, Teori, Strategi dan Prosedur. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar